Jumat, 20 Mei 2011

PUISI, PENYAIR DAN PEMBACA



Oleh : A’yat Khalili

Puisi adalah suara jiwa penyair, tentang apa yang dilihat mata, dirasa dan dicecap lidah dan kulit, apa yang dicium hidung, dipikir otak dan sesuatu apa yang disimpan hati. Eksperesi jiwa itu menghadirkan rasa indah dan rasa kagum bagi setiap manusia yang menikmatinya. Puisi adalah merupakan komunikasi langsung seorang penyair dengan alam, maka tak salah jika terkadang ia hadir menyuarakan gerak daun yang ditingkap angin, sehempas debu yang diterjang angin, atau aroma bunga yang dibawa angin dari halaman rumah. Sebab dari selain itu, puisi adalah merupakan salah satu bentuk jenis karya sastra yang dilengkapi dengan pemakaian majas, denotasi dan konotasi serta penggunaan lambang-lambang, yang terkadang bahasa yang digunakan penyair, ada yang padat, naratif, dan terdapat penghilangan sebagian tanda dan kata untuk lebih mengintensifkan puisinya.
Unsur-unsur puisi didapatkan dari pancaindra, melihat, merasakan dari apa yang terkecil sampai ke paling besar. Yang tampak sampai ke kasat mata. Seorang penyair adalah orang yang paling tertuntut kepekaan dan meresapi setiap kemungkinan dalam perasaan memahami hidup, bahasa dan peristiwa-peristiwa terhadap gejala luar biasa yang ada di alam ini. Penyair dan lingkungannya. Ia hidup dalam dunia bahasa yang tak terbatas dan tak terlepas dari sifat kolektif. Selain pribadinya yang mempunyai jiwa, masyarakat pun punya jiwa. Penyair dan masyarakat adalah ibarat anak dan ibu, yang membentuk dari akumulasi semacam interaksi dan interelasi antara keduanya. Penyair seolah berada dibuaiannya, sementara sang ibu sendiri selalu memberi berbagai macam kebutuhan anak. Karena ia dibentuk dan lahir sebagai anggota-anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional yang terkadang juga kurang rasional dan ril. Hingga dalam hidup yang ia jejaki, ia serapi, ia renungi sebagai sebuah pengetahuan dan pengalaman pahit-manis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu telah bermacam-macam warna berbeda yang dapat ia hadirkan, yang tentu kemudian cukup memiliki ciri khas berbeda dan bernilai tersendiri dalam lingkungan hidupnya.
Ia tidak akan hadir dalam ruang kosong belaka, nihil makna. Melainkan puisi sebagai suara terdalam manusia sebagai sang penyair dalam mentransenden bahasa, yang dalam istilah ilmu linguistic—sebagai suatu kalimat yang tidak dapat disampaikan dengan cara lain apa pun, kecuali dalam dan oleh kalimat puisi itu sendiri. Jika kita pun bertanya, dapatkah air mata dan tangis diterjemah dengan bahasa, luka yang tersiksa mampukah ditulis. Di situ bahasa hanya menjadi bahasa. Luka pun tetap menjadi bahasa luka. Ia tak bisa menjelaskan kalimat, begitu pun kata hanya hidup dalam kata itu sendiri. Di luar itu semua—apa yang dipikirkan manusia tentang hari esok hanyalah sunyi, sunyi tak terbatas. Ironi dan abstrak. Puisi sangat penuh pekat-kental, ia sarat dengat hukum nilai, alam estetika telah menjadi tuntutan pembaca dalam mengakrabi puisi agar semakin terkesan, penuh etnik, sosia, dan religius. Yang dalam catatan ini perubahan paling kecil dalam puisi akan mengakibatkan perubahan seluruh komponen dalam rangkaian unsurnya. Hingga puisi akhirnya tidak menjadi kosong arti, dan mustahil dipisahkan dari bunyi kata yag terungkap. Dengan alasan apa pun, puisi tidak untuk diterjemah, sebab ia memang bukan untuk dipikir apalagi diterjemah dengan bahasa lainnya. Ia hanya hadir untuk memenuhi keragaman bahasa, sebagai hakikat awal mula bahasa diciptakan bagi manusia, yang lalu memunculkan dan menjelaskan banyak peristiwa bahasa untuk kemudian diolah batin dan dirasakan oleh pemahaman jiwa. Selain itu semua, hanya sebuah arti atau pengertian yang tak termaknakan.
Seorang pembaca tentunya harus benar-benar tahu dan menguasai linguistic bahasa. Dalam potret lain, harus hidup dalam dunia bahasa. Sebab jika tidak, ia sedang menghadapi besi dingin. Ketika menyentuhnya tak bakal mendapat percik apa pun, kecuali kegelapan amat sangat dan serangkaian kalimat tak bermakna. Lalu bagaimana mungkin, jika tak pernah luka akan menangis. Jika tak pernah hidup akan mati. Mendalami rasa, indera, bahasa, gerak, hingga lahir gema dalam jiwa. Sebab dalam puisi yang menentukan adalah penghayatannya. Pikiran terkadang buntu. Ia adalah batas terendah mencari pembacaan puisi. Sedang puisi sendiri puncak teratas bahasa. Octavio Paz; pernah menulis “ bila puisi menyentuh suatu bahasa apa pun maka menjadi ujaran (beku) dan seketika itu juga berhenti jadi bahasa”. Artinya sebagaimana di atas tersebut, puisi tidak dapat dibahasakan dengan cara ungkap apa pun, selain cara ungkap puisi itu sendiri, ia lahir dari gema rasa—untuk dirasakan jiwa lain, yang kehadiran itu bakal mesti jadi sangkut-paut kehidupannya menerima gema di sekitar dirinya yang menimpa.
Istilah puisi muncul dari runut kata, rasa, bunyi, gema, makna dan indera. Yang satu sama lain berpaduan—tak terpisahkan. Bekerjasama dan saling mengisi. Bahkan mustahil diceraikan keutuhannya yang membentuk ujud puisi itu sendiri. Tidak ada rupa kedua dari puisi. Puisi hanya puisi. Ia hidup sendiri. Akan tetapi dari perangkat itu, puisi bisa hadir jadi pemahaman universal, dan multitafsir. Bagi sebagian pembaca, puisi dapat dirasakan dari getaran bunyinya, sebagia lain dari kedahsyatan kata-katanya, sebagian lagi dari anaforinya, dan ada juga tak menemukannya. Namun, walau sebesar apu pun semua itu tak akan pernah sampai sebagaimana maksud penyairnya itu. Ada yang berlebih dalam pandangannya. Ada yang kewalahan mencarinya. Lebih-lebih seorang pembaca hendaklah mengetahui lingkungan juga hal ihwal proses kreatif sang penyair. Karena ini, tentu bakal membantu kuat penelitian dan pemahamannya tentang puisi-puisi Yang dibaca. Contoh kecil Sutardji CB, puisi-puisinya hanya dapat dipamahi sebagian orang yang telah benar-benar tahu dan mengenal serta membaca catatan hidup yang ia prioritaskan sebagai salah satu proses kreatifnya menulis puisi-puisi mantra kepada khalayak pembaca. Dan masih banyak …yang selanjutnya terserah pembaca mencari dan mengenal puisi secara lebih luas. Hingga kita akhirnya faham, bahwa kenikmatan puisi dan kefahamannya menjadikan manusia lebih arif dan bijak, beradab dan lembut serta selalu ingat pada momentum sendiri.
Telenteyan Longos, Gapura, 13 September 2010.

A`YAT KHALILI
Bernama asli Khalili. Lahir di kampung Telentean desa Longos, Gapura, Sumenep, 10 Juli 1990. menyelesaikan pendidikan dasarnya di desanya sendiri (MI Taufiqurrahman, sementara SMP-nya ia habiskan di Yayasan Abdullah( YAS`A) Pangarangan, Sumenep.Ia selain menulis puisi, juga cerpen, esai, dan naskah kebudayaan agama. pada tahun 2006; memenangkan juara ke-2 lomba cipta puisi remaja tingkat nasional dalam rangka Bulan Bahasa & Sastra di Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2006; memenangkan juara 1 lomba penulisan sastra tingkat remaja Jawa Timur, di Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya 2006; memenangkan juara 1 sayembara penulisan sastra tingkat remaja Jawa Timur, di Teater Kedok SMAN 6 Surabaya 2007; memenangkan juara 2 lomba penulisan puisi religius tingkat mahasiswa se-Indonesia yang diadakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Purwokerto, 2010); nomine lomba cipta puisi Forum Tinta Dakwah (FTD) Forum Lingkar Pena (FLP) Riau, 2010; nomine lomba menulis puisi bertajuk “ Batu Bedil Award 2010” yang diadakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanggamus, dalam rangka Festival Teluk Semaka (FTS) 2010; dan juara ke-1 lomba cipta puisi “ Give Spirit For Indonesia 2011” , Januari 2011 ini. Ia juga mengikuti undangan Liburan Sastra Pesantren (Berlibur, Berkarya, Bersastra)bersama Penerbit LKiS dan komunitas Matapena, Jogja 2008. karya-karyanya yang sudah terbit;Akhir Sebuah Jalan (2006) Rumah Seribu Pintu (2007. Ia juga salah satu pendiri Rumah Sastra Bersama dan penggerak Bengkel Puisi Annuqayah.
Beralamat: Jl. Makam Pahlawan, PP. Annuqayah, Daerah Latee, Rayon Al-Bukhari 23, Guluk-guluk, Sumenep Madura Jawa Timur 69463.

Tidak ada komentar: